MAKALAH ILMU
BUDAYA DASAR
(Hukum Di Indonesia Tajam Kebawah Tumpul Keatas)
Disusun Oleh
:
Debora Anggia Pramesti (11216759)
Denis Pandowo Putra (11216819)
Labib Muzhoffar Sanusi (13216981)
Nurika Ayu Tiara (15216583)
Viki Crisna Sanubari (17216540)
UNIVERSITAS GUNADARMA
2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT atas berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu.
Tidak
lupa kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyusun makalah ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu namun tidak dapat
mengurangi rasa hormat kami.
Dalam
penyusunan makalah ini tentu banyak kekurangan dan kesalahan, oleh sebab itu
kami penulis mengharapkan kritik dan saran demi sempurnanya laporan ini.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mohon maaf apabila terjadi kesalahan.
Jakarta, 11 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................
1
DAFTAR ISI ..................................................................................................
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................
3
B. Perumusan
Masalah..................................................................................
3
C.
Tujuan...........................................................................................................3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebijakan pengegak
hukum.....................................................................
4
B. Problematika
penegakan hukum di Indonesia..........................................
4-5
C. Dampak dalam
penegakan hukum di Indonesia...........................................6-7
D. Ketidakpuasan
masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia..........7-8
E. Contoh Kasus...........................................................................................
8-9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Saat ini tidak mudah untuk
memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam
mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat
pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan
hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam
dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati
peringkat pertama yang bukan saja
mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang
hukum lainnya.
Hukum di Indonesia yang bisa kita
lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang
TAJAM KE BAWAH TUMPUL KE ATAS, mengapa? bahwa keadilan di
negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas menengah di bandingkan
dengan para koruptor yang notabene adalah para pejabat kelas ekonomi ke atas,
mulai dari tingkat anggota DPRD hingga para mantan menteri juga terjerat dengan
kasus korupsi.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Definisi kebijakan penegak hukum.
2.
Problematika penegakan hukum di Indonesia.
3.
Dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
4.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5. Solusi dan
cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia.
C. TUJUAN
1. Untuk
mengetahui definisi kebijakan
penegak hukum.
2. Untuk
mengetahui problematika penegakan hukum di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui dampak yang timbul dari penegakan
hukum di Indonesia.
4. Untuk
mengetahui ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5.
Untuk mengetahui solusi dan cara menghadapai
permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAAN
A.
Kebijakan
Penegak Hukum
Kebijakan adalah kepandaian,
kemahiran, kebijaksanaan; rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak pemerintah; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud
sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran dari
haluan-haluan pemerintah mengenai moneter perlu dibahas oleh DPR (Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 149).
Sedangkan penegakan adalah proses,
cara, perbuatan, menegakkan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005:
1155). Selain itu hukum memiliki beberapa pengertian atau definisi dari hukum,
antara lain:
Hukum adalah:
1.
Peraturan
atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah;
2. Undang-undang,
peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
3. Patokan
(kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4. Keputusan
(pertimbangan) yang diterapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis. (Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 410)
Hukum adalah keseluruhan
peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama:
keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang erlaku dalam suatu kehidupan
bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi (Sudikno,
1999: 40).
Jadi, kebijakan penegakan hukum
adalah usaha-usaha yang diambil oleh pemerintah atau suatu otoritas untuk
menjamin tercapainya rasa keadilan dan ketertiban dalam masyarakat dengan
menggunakan beberapa perangkat atau alat kekuasaan negara baik dalam bentuk
undang-undang, sampai pada para penegak hukum antara lain polisi, hakim, jaksa,
serta pengacara.
B. Problematika Penegakan Hukum di
Indonesia
Undang-undang No. 28 tahun 1999
tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai tujuan,
yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan
penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh
dan penuh tanggung jawab (Siswanto, 2005: 50).
Penegak hukum merupakan golongan
panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan
tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi
dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu
membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain
itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola
tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran
atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan
lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah
hukum yang baru serta memberikan keteladanan yang baik (Soerjono, 2002: 34).
Namun sebagaimana yang telah kita
ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah
masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan
advokat ) serta judicial corruption yang sudah terlanjur mendarah daging
sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption
jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang
seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit
diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance.
Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim,
jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan
prinsip-prinsip good governance.
Beberapa permasalahan mengenai
penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa
berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum
itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya.
Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan
bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya (Soerjono Soekanto dan
Mustafa Abdullah, 1987: 20).
Selain itu sebagaimana menurut
Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dan
hubungan antara empat faktor, yakni:
1.
Hukum dan
peraturan itu sendiri.
Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan
dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu.
2.
Mentalitas
Petugas yang menegakkan hukum.
Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi,
jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya.
3.
Fasilitas
yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga
mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka
penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
4.
Kesadaran
dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
Namun dipihak lain perlu juga disadari bahwa penegakan
hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai
dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya adalah keadilan. Pernyataan di
atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di masyarakat tidak mungkin
seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan proses yang bergerak di antara
dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata bukanlah keadilan, demikian
pula Suum Cuique Tribuere yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan.
Keadilan bergerak di antara dua kutub tersebut. Pada suatu ketika keadilan
lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang lain, keadilan lebih condong
pada kutub lainnya. Keadilan yang mendekati kutub Naminem Laedere adalah pada
saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral.
Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau
sensitif, maka yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique
Tribuere. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata
hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan
jasmani maupun rohani (Abdul Ghofur, 2006: 55-56).
C. Dampak dalam Penegakan Hukum di Indonesia
Penyelewengan
atau inkonsistensi di Indonesia berlangsung lama bertahun-tahun hingga
sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia ini merupakan rahasia umum, hukum
yang dibuat berbeda dengan hukum yang dijalankan, contoh paling dekat dengan
lingkungan adalah, penilangan pengemudi kendaraan yang melanggar tata tertib
lalu lintas. Oleh karena itu,
akibat-akibat yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan hukum tersebut
diantaranya, yaitu:
1.
Ketidakpercayaan
masyarakat pada hukum
Kasus-kasus
korupsi di Indonesia tidak terselesaikan secara tuntas karena para petinggi
Negara yang terlibat di dalamnya mempermainkan hukum dengan menyuap sana sini
agar kasus ini tidak terungkap, akibatnya kepercayaan masayarakatpun pudar.
2.
Penyelesaian
konflik dengan kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan contohnya ialah pencuri ayam yang
dipukuli warga, pencuri sandal yang dihakimi warga. Konflik yang terjadi di
sekelompok masyarakat di Indonesia banyak yang diselesaikan dengan kekerasan,
seperti kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar suku yang memperebutkan
wilayah. Ini membuktikan masayarakat Indonesia yang tidak tertib hukum,
seharusnya masalah seperti maling sandal atau ayam dapat ditangani oleh pihak
yang yang berwajib, bukan dihakimi secara seenakanya, bahkan dapat
menghilangkan nyawa seseorang.
3.
Pemanfaatan
Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dari beberapa kasus di Indonesia, banyak warga Negara Indonesia yang memanfaatkan
inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi. Contohnya ialah
pengacara yang menyuap polisi ataupun hakim untuk meringankan terdakwa,
sedangkan polisi dan hakim yang seharusnya bisa menjadi penengah bagi kedua
belah pihak yang sedang terlibat kasus hukum bisa jadi lebih condong pada
banayknya materi yang diberikan oleh salah satu pihak yang sedang terlibat
dalam kasus hukum tersebut.
4.
Penggunaan
Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh pengrusakan lingkungan yang
diakibatkan oleh suatu perusahaan asing yang membuka usahanya di Indonesia,
mereka akan minta bantuan dari negaranya untuk melakukan upaya pendekatan
kepada Indonesia, agar mereka tidak mendapatkan hukuman yang berat, atau
dicabut izin memproduksinya di Indonesia (Supriadi, 2008: 312).
D.
Ketidakpuasan Masyarakat Terhadap Penegakan
Hukum di Indonesia
Ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di
Indonesia ini merupakan fakta dan data yang ditunjukkan dari hasil survei
terhadap masyarakat oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan bahwa
56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia,
hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak
menjawab. Mereka yang
tak puas terhadap penegakan hukum di Indonesia merata di semua segmen. Mereka
yang tinggal di kota maupun desa, berpendidikan tinggi maupun rendah, mereka
yang berasal dari ekonomi atas maupun ekonomi bawah.
Namun demikian, mereka ya ng tinggal di desa, berasal
dari ekonomi bawah, dan berpendidikan rendah lebih tak puas jika dibandingkan
dengan mereka yang berada di kota dan berpendidikan tinggi. Hal ini
disebabkan karena mereka yang berada di desa dan kelompok ekonomi bawah lebih
sering menghadapi kenyataan merasa diperlakukan tidak adil jika berhadapan
dengan aparat hukum. Ketidakpuasaan
responden terhadap penegakan hukum di Indonesia cenderung meningkat dari tahun
ke tahun yaitu 37,4 persen (Survei LSI Januari 2010), sebesar 41,2 persen
(Oktober 2010), sebesar 50,3 persen (September 2011), sebesar 50,3 persen
(Oktober 2012), dan terakhir 56,6 persen (April 2013) (http://www.lsi.or.id/riset/)..
E. Contoh
Kasus
“Hukum
begitu tajam menghujam si miskin yang lemah, sementara pada saat yang sama,
hukum begitu tumpul terhadap mereka yang berkuasa”.
Pendapat
seorang rekan pengacara publik pada sebuah lembaga bantuan hukum tersebut
terasa sangat relevan terhadap diri Aspuri (19). Bagaimana tidak, Aspuri telah
ditahan selama dua setengah bulan dengan dalih, kalaupun dapat dijadikan
alasan, Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pencurian dengan
ancaman hukuman paling lama lima tahun. Pencurian sebuah baju, demikian yang
dituduhkan kepada Aspuri.
Baju senilai
Rp 80.000 yang diambil Aspuri memang milik Dewi, tetapi tergeletak tak bertuan
di sebuah pagar tempat Aspuri melewatkan perjalanan pulangnya sehabis
berladang. Tanpa disangka, akibat perbuatannya tersebut, Aspuri harus menjalani
proses persidangan di Pengadilan Negeri Serang, Banten. Intuisi kita sebagai
seorang manusia bertanya, apakah pantas Aspuri menjalani semua hal tersebut.
Suara hati kita tentu saja berkata tidak walaupun mungkin hukum berkata lain.
Menurut
hukum, paling tidak terdapat empat cara penghentian suatu perkara. Pertama,
melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh
kepolisian. Adapun alasan dikeluarkan mekanisme ini adalah tidak terdapat cukup
bukti, bukan merupakan suatu tindak pidana, dan dihentikan demi hukum. Melihat
mekanisme ini, rasanya sulit dalam kasus Aspuri untuk diberhentikan. Barang
bukti berupa baju milik Dewi serta saksi merupakan pegangan yang cukup kuat
bagi pihak kepolisian untuk membuktikan tindak pidana pencurian.
Demikian
juga dengan mekanisme dihentikan demi hukum. Menurut doktrin, suatu perkara
dihentikan demi hukum jika menyangkut hal-hal seperti kedaluwarsa, tidak dapat
dituntut lebih dari satu kali, dan terdakwa tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana karena meninggal. Tidak ada alasan, menurut doktrin
hukum pidana, yang dapat membuat perkara Aspuri ini dihentikan.
Cara
penghentian berikutnya adalah mekanisme surat ketetapan penghentian penuntutan
(SKP2) yang alasan-alasan untuk dikeluarkannya sama seperti SP3 sehingga tidak
dapat diberlakukan kepada Aspuri. Cara lainnya yang tak kalah sulit adalah
penghentian penuntutan oleh Jaksa Agung, sesuai asas oportunitas, dan pemberian
abolisi oleh presiden. Kedua cara ini memerlukan pertimbangan dari badan- badan
kekuasaan lainnya. Apakah seorang Jaksa Agung, bahkan presiden, rela meluangkan
waktunya demi rakyat jelata yang bernama Aspuri. Berbicara sebelum terekspos
media, tampaknya tidak rela.
Hukum memang
tidak memberikan peluang bagi Aspuri untuk tidak menjalani proses berhukum.
Mungkin hal ini merupakan suatu ketidaksempurnaan hukum yang tetap harus
dilaksanakan. Kepastian hukum menjadi begitu penting dalam proses bernegara
pada zaman modern ini. Apa jadinya jika supremasi hukum tidak ditegakkan.
Mengabaikannya sama halnya dengan membenarkan perbuatan pencurian. Begitulah
argumentasi para penganut positivisme dan kepastian hukum.
Itulah
sebabnya Satjipto Rahardjo kemudian memberikan suatu antitesis kepada kita bahwa
hukum dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya. Manusia memang bukan mesin
atau kalkulator yang jika dimasukkan suatu rumus peristiwa sosial akan
menghasilkan input yang sama. Pencurian sebuah baju, yang tergantung begitu
saja di pagar, kemudian dipersamakan dengan pencurian motor atau bahkan
kasus-kasus korupsi yang mencuri uang negara yang sangat banyak. Kita mungkin
juga akan melakukan hal yang sama ketika melihat baju tersebut. Bahkan, mungkin
hakim-hakim yang beretika hukum dan sedang memeriksa perkara Aspuri keburu
ditangkap ketika hendak memberikan baju tak bertuan tersebut ke kantor polisi
jika dia berada dalam posisi Aspuri pada saat itu.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Masalah
penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius dan akan
terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan,
tidak ada reformasi di bidang itu sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang
kurang baik merupakan aktor utama dari segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum
di negari ini. Perlu ditekankan sekali lagi, walaupun tidak semua penegakan
hukum di Indonesia tidak semuanya buruk, Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi segala keselaran hukum yang
berjalan di mata masyarakat.
Perlu banyak
evaluasi-evaluasi yang harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan yang jelas
mengenai penyelewengan hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan
tersendiri dan kesadaran yang hierarki dari individu atau kelompok yang
terlibat di dalamnya. Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan
pendirian iman dan takwa yang sejak kecil harus diberikan kepada kader-kader
pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum
Indonesia, baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk
pula konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin Ali. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika
Anonim. 2013. Bahan Rilis LSI_Korupsi dan
Kepercayaan Publik pada Penegak Hukum.
Diunduh pada tanggal Oktober 2010 dalam
Anonim. 2013. Penegakan Hukum di
Indonesia Sangat Memprihatinkan. Diakses pada
tanggal 24 November 2013 dalam (http://news.okezone.com/read/2013/04/10/339/789007/
penegakan-hukum-di-indonesia-sangat-memprihatinkan)
Asshiddiqie, Jimly. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi.
Jakarta: Sinar
Grafika
Asshiddiqie, Jimly. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.
Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
https://usepsaefurohman.wordpress.com/2010/02/14/hukum-untuk-si-miskin/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar