Jumat, 11 November 2016


MAKALAH ILMU BUDAYA DASAR
(Hukum Di Indonesia Tajam Kebawah Tumpul Keatas)












Disusun Oleh :
Debora Anggia Pramesti (11216759)
Denis Pandowo Putra (11216819)
Labib Muzhoffar Sanusi (13216981)
Nurika Ayu Tiara (15216583)
Viki Crisna Sanubari (17216540)




UNIVERSITAS GUNADARMA
2016









KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat-Nya  kami  dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
            Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu namun tidak dapat mengurangi rasa hormat kami.
            Dalam penyusunan makalah ini tentu banyak kekurangan dan kesalahan, oleh sebab itu kami penulis mengharapkan kritik dan saran demi sempurnanya laporan ini. Demikianlah yang dapat kami sampaikan mohon maaf apabila terjadi kesalahan.














Jakarta, 11 November 2016

Penulis







DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... 1
DAFTAR ISI .................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang......................................................................................... 3
      B.    Perumusan Masalah.................................................................................. 3
      C.    Tujuan...........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN     
      A.    Kebijakan pengegak hukum..................................................................... 4
      B.    Problematika penegakan hukum di Indonesia.......................................... 4-5
      C.    Dampak dalam penegakan hukum di Indonesia...........................................6-7
      D.   Ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia..........7-8
      E.     Contoh Kasus........................................................................................... 8-9
BAB III PENUTUP
      A.    Kesimpulan..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 10










   BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama  yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.
Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang TAJAM KE BAWAH TUMPUL KE ATAS, mengapa? bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas menengah di bandingkan dengan para koruptor yang notabene adalah para pejabat kelas ekonomi ke atas, mulai dari tingkat anggota DPRD hingga para mantan menteri juga terjerat dengan kasus korupsi.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Definisi kebijakan penegak hukum.
2.      Problematika penegakan hukum di Indonesia.
3.      Dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
4.      Ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5.      Solusi dan cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia.

C.      TUJUAN
1.      Untuk mengetahui definisi kebijakan penegak hukum.
2.      Untuk mengetahui problematika penegakan hukum di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
4.      Untuk mengetahui ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5.      Untuk mengetahui solusi dan cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia



BAB II
PEMBAHASAAN

A.      Kebijakan Penegak Hukum
Kebijakan adalah kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan; rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak pemerintah; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran dari haluan-haluan pemerintah mengenai moneter perlu dibahas oleh DPR (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 149).
Sedangkan penegakan adalah proses, cara, perbuatan, menegakkan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 1155). Selain itu hukum memiliki beberapa pengertian atau definisi dari hukum, antara lain:
Hukum adalah:
1.      Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh   penguasa atau pemerintah;
2.      Undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
3.      Patokan (kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4.      Keputusan (pertimbangan) yang diterapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 410)
Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang erlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi (Sudikno, 1999: 40).
Jadi, kebijakan penegakan hukum adalah usaha-usaha yang diambil oleh pemerintah atau suatu otoritas untuk menjamin tercapainya rasa keadilan dan ketertiban dalam masyarakat dengan menggunakan beberapa perangkat atau alat kekuasaan negara baik dalam bentuk undang-undang, sampai pada para penegak hukum antara lain polisi, hakim, jaksa, serta pengacara.

B.       Problematika Penegakan Hukum di Indonesia
Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab (Siswanto, 2005: 50).
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru serta memberikan keteladanan yang baik (Soerjono, 2002: 34).
Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption yang sudah terlanjur  mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Beberapa permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya (Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1987: 20).
Selain itu sebagaimana menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dan hubungan antara empat faktor, yakni:

1.      Hukum dan peraturan itu sendiri.
Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu.
2.      Mentalitas Petugas yang menegakkan hukum.
Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya.
3.      Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
4.      Kesadaran dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
Namun dipihak lain perlu juga disadari bahwa penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya adalah keadilan. Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di antara dua kutub tersebut. Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang mendekati kutub Naminem Laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani (Abdul Ghofur, 2006: 55-56).

C.      Dampak dalam Penegakan Hukum di Indonesia
Penyelewengan atau inkonsistensi di Indonesia berlangsung lama bertahun-tahun hingga sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia ini merupakan rahasia umum, hukum yang dibuat berbeda dengan hukum yang dijalankan, contoh paling dekat dengan lingkungan adalah, penilangan pengemudi kendaraan yang melanggar tata tertib lalu lintas. Oleh karena itu, akibat-akibat yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan hukum tersebut diantaranya, yaitu:




1.      Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum
Kasus-kasus korupsi di Indonesia tidak terselesaikan secara tuntas karena para petinggi Negara yang terlibat di dalamnya mempermainkan hukum dengan menyuap sana sini agar kasus ini tidak terungkap, akibatnya kepercayaan masayarakatpun pudar.

2.      Penyelesaian konflik dengan kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan contohnya ialah pencuri ayam yang dipukuli warga, pencuri sandal yang dihakimi warga. Konflik yang terjadi di sekelompok masyarakat di Indonesia banyak yang diselesaikan dengan kekerasan, seperti kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar suku yang memperebutkan wilayah. Ini membuktikan masayarakat Indonesia yang tidak tertib hukum, seharusnya masalah seperti maling sandal atau ayam dapat ditangani oleh pihak yang yang berwajib, bukan dihakimi secara seenakanya, bahkan dapat menghilangkan nyawa seseorang.

3.      Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dari beberapa kasus di Indonesia, banyak warga Negara Indonesia yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi. Contohnya ialah pengacara yang menyuap polisi ataupun hakim untuk meringankan terdakwa, sedangkan polisi dan hakim yang seharusnya bisa menjadi penengah bagi kedua belah pihak yang sedang terlibat kasus hukum bisa jadi lebih condong pada banayknya materi yang diberikan oleh salah satu pihak yang sedang terlibat dalam kasus hukum tersebut.

4.      Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh pengrusakan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu perusahaan asing yang membuka usahanya di Indonesia, mereka akan minta bantuan dari negaranya untuk melakukan upaya pendekatan kepada Indonesia, agar mereka tidak mendapatkan hukuman yang berat, atau dicabut izin memproduksinya di Indonesia (Supriadi, 2008: 312).

D.      Ketidakpuasan Masyarakat Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia
Ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia ini merupakan fakta dan data yang ditunjukkan dari hasil survei terhadap masyarakat oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Mereka yang tak puas terhadap penegakan hukum di Indonesia merata di semua segmen. Mereka yang tinggal di kota maupun desa, berpendidikan tinggi maupun rendah, mereka yang berasal dari ekonomi atas maupun ekonomi bawah.
Namun demikian, mereka ya ng tinggal di desa, berasal dari ekonomi bawah, dan berpendidikan rendah lebih tak puas jika dibandingkan dengan mereka yang berada di kota dan berpendidikan tinggi. Hal ini disebabkan karena mereka yang berada di desa dan kelompok ekonomi bawah lebih sering menghadapi kenyataan merasa diperlakukan tidak adil jika berhadapan dengan aparat hukum. Ketidakpuasaan responden terhadap penegakan hukum di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun yaitu 37,4 persen (Survei LSI Januari 2010), sebesar 41,2 persen (Oktober 2010), sebesar 50,3 persen (September 2011), sebesar 50,3 persen (Oktober 2012), dan terakhir 56,6 persen (April 2013) (http://www.lsi.or.id/riset/)..

E. Contoh Kasus
“Hukum begitu tajam menghujam si miskin yang lemah, sementara pada saat yang sama, hukum begitu tumpul terhadap mereka yang berkuasa”.
Pendapat seorang rekan pengacara publik pada sebuah lembaga bantuan hukum tersebut terasa sangat relevan terhadap diri Aspuri (19). Bagaimana tidak, Aspuri telah ditahan selama dua setengah bulan dengan dalih, kalaupun dapat dijadikan alasan, Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pencurian dengan ancaman hukuman paling lama lima tahun. Pencurian sebuah baju, demikian yang dituduhkan kepada Aspuri.
Baju senilai Rp 80.000 yang diambil Aspuri memang milik Dewi, tetapi tergeletak tak bertuan di sebuah pagar tempat Aspuri melewatkan perjalanan pulangnya sehabis berladang. Tanpa disangka, akibat perbuatannya tersebut, Aspuri harus menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Serang, Banten. Intuisi kita sebagai seorang manusia bertanya, apakah pantas Aspuri menjalani semua hal tersebut. Suara hati kita tentu saja berkata tidak walaupun mungkin hukum berkata lain.
Menurut hukum, paling tidak terdapat empat cara penghentian suatu perkara. Pertama, melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh kepolisian. Adapun alasan dikeluarkan mekanisme ini adalah tidak terdapat cukup bukti, bukan merupakan suatu tindak pidana, dan dihentikan demi hukum. Melihat mekanisme ini, rasanya sulit dalam kasus Aspuri untuk diberhentikan. Barang bukti berupa baju milik Dewi serta saksi merupakan pegangan yang cukup kuat bagi pihak kepolisian untuk membuktikan tindak pidana pencurian.
Demikian juga dengan mekanisme dihentikan demi hukum. Menurut doktrin, suatu perkara dihentikan demi hukum jika menyangkut hal-hal seperti kedaluwarsa, tidak dapat dituntut lebih dari satu kali, dan terdakwa tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena meninggal. Tidak ada alasan, menurut doktrin hukum pidana, yang dapat membuat perkara Aspuri ini dihentikan.
Cara penghentian berikutnya adalah mekanisme surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) yang alasan-alasan untuk dikeluarkannya sama seperti SP3 sehingga tidak dapat diberlakukan kepada Aspuri. Cara lainnya yang tak kalah sulit adalah penghentian penuntutan oleh Jaksa Agung, sesuai asas oportunitas, dan pemberian abolisi oleh presiden. Kedua cara ini memerlukan pertimbangan dari badan- badan kekuasaan lainnya. Apakah seorang Jaksa Agung, bahkan presiden, rela meluangkan waktunya demi rakyat jelata yang bernama Aspuri. Berbicara sebelum terekspos media, tampaknya tidak rela.
Hukum memang tidak memberikan peluang bagi Aspuri untuk tidak menjalani proses berhukum. Mungkin hal ini merupakan suatu ketidaksempurnaan hukum yang tetap harus dilaksanakan. Kepastian hukum menjadi begitu penting dalam proses bernegara pada zaman modern ini. Apa jadinya jika supremasi hukum tidak ditegakkan. Mengabaikannya sama halnya dengan membenarkan perbuatan pencurian. Begitulah argumentasi para penganut positivisme dan kepastian hukum.
Itulah sebabnya Satjipto Rahardjo kemudian memberikan suatu antitesis kepada kita bahwa hukum dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya. Manusia memang bukan mesin atau kalkulator yang jika dimasukkan suatu rumus peristiwa sosial akan menghasilkan input yang sama. Pencurian sebuah baju, yang tergantung begitu saja di pagar, kemudian dipersamakan dengan pencurian motor atau bahkan kasus-kasus korupsi yang mencuri uang negara yang sangat banyak. Kita mungkin juga akan melakukan hal yang sama ketika melihat baju tersebut. Bahkan, mungkin hakim-hakim yang beretika hukum dan sedang memeriksa perkara Aspuri keburu ditangkap ketika hendak memberikan baju tak bertuan tersebut ke kantor polisi jika dia berada dalam posisi Aspuri pada saat itu.













BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik merupakan aktor utama dari segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak semuanya buruk, Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi segala keselaran hukum yang berjalan di mata masyarakat.
Perlu banyak evaluasi-evaluasi yang harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia, baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan Negara.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin Ali. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Anonim. 2013. Bahan Rilis LSI_Korupsi dan Kepercayaan Publik pada Penegak Hukum.
Diunduh pada tanggal Oktober 2010 dalam
Anonim. 2013. Penegakan Hukum di Indonesia Sangat Memprihatinkan. Diakses pada tanggal 24 November 2013 dalam (http://news.okezone.com/read/2013/04/10/339/789007/
penegakan-hukum-di-indonesia-sangat-memprihatinkan)
Asshiddiqie, Jimly. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Sinar
Grafika
Asshiddiqie, Jimly. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
https://usepsaefurohman.wordpress.com/2010/02/14/hukum-untuk-si-miskin/
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar